RSS

adadadada


4 KOPIAH

Karya Faqih Sulthan

Gema tahlil muazin membahana ke seluruh rimba muria, pertanda mega merah telah tiada. Sebagai masjid yang diapit empat asrama di setiap mata anginnya. Bukan hal yang aneh jika masjid seolah dikrumuni jutaan santri.

Sejak takbiratulikrom tertunaikan, udara dingin yang menyusup kedalam masjid membuat cengkramanku semakin kencang. Hal serupa nampaknya juga dirasakan seluruh santri disolat isyak kala itu.
Takbir, rukuk dan sujud sudah menjadi irama rohani, semenjak aku berada di ma’had ini empat tahun silam. Wajah-wajah pucat kami saling menyapa ke kanan dan ke kiri, jemari kami terhitung tertib bersama lafat-lafat dzikir yang keluar dari bibir kami.

Usai sholat ba’diyah, terdengar dari sound usang masjid berisi pemanggilan nama-nama santri yang terjerat pelanggaran. Dari shof paling depan berdiri Takim, santri dari asrama selatan. Santri yang satu ini terkenal gemar mengotak-atik inventaris ma’had. Dan sepertinya pelanggaran yang ia lakukan juga tak jauh dari itu.
Kemudian tepat di sampingku menyusul Afif, santri dari asrama utara ini terkenal gerang dan menakutkan. Hampir seluruh santri takut dengannya mungkin karena tubuhnya yang kekar atau mungkin wajahnya yang sangar.
Mendengar ustad Amin berulang ulang memanggil nama salah seorang santri namun tak kunjung ada wujudnya, pandanganku seketika beralih ke depan. “masih sholat ustad” pekik salah seorang santri dari shof paling belakang. lagi-lagi Irsyad. Aku sudah kenal betul perangai santri dari asrama timur itu. Pemalas dan sulit diajak disiplin, itu sebabnya kenapa kawan-kawanya kerap mejulukinya kaslan.
Menunggu Irsyad, kyai Ilham yang bersila di samping mimbar membisiki ustad Amin. Ustad amin mengangguk menggerti, kembali ia mengangkat microfon yang tadinya ia letakkan “ziyadah, jallal, jallalluddin Al mansyur taqoddam ilal ammam.” ustad Amin mencari posisiku.

Seluruh pasang mata menatapku heran sekaligus kecewa. Selama ini aku yang sudah dianggap mampu menjadi figur baik di kalangan santri asrama barat, ternyata masuk dalam daftar santri pelanggar. Aku benar-benar tak terima “apa kesalahanku?” bisiku dalam hati.
Ustad Amin mempersilahkan seluruh santrinya kembali ke maskan. Aku di depan hanya bisa melihat seluruh santri bangkit meningalkan permadani, tak jarang di serambi masjid terdengar namaku dipergunjingkan. Ingin rasanya aku megelak namun terlambat, setelah ustad Amin menggiring kami berempat ke kantor mahkamah untuk diintrogasi.

Ruangan sempit bercat putih dengan tembok renta membuat rungan itu begitu menyeramkan bagi santri yang belum pernah ke dalam. Seperti halnya diriku yang kini dilumat gugup.
Di kursi butut depan kantor, aku yang mendapatkan giliran terakhir hanya bisa menunggu Afif, Takim, dan Irsyad selesai disidang. Satu persatu dari mereka keluar dengan muka musam seolah usai diterpa badai gurun. “heh, giliranmu” bisik Afif berpaling acuh.

Salam getirku membuka pandangan kyai Ilham kepadaku. Beliau mempersilahkanku duduk di hadapanya. Dari sekian lama Kyai memasang senyum misteriusnya, akhirnya ia-pun bicara. “Jallal, aku tahu kau anak yang baik dan cerdas. Karena itu, mengapa kau ku panggil kemari.” Kyai Ilham menghela nafas. “Ada satu misi yang saya rasa hanya kau yang sanggup membawanya.” Kyai menatapku tajam.
“misi apa kyai, kenapa aku harus dilibatkan sebagai salah satu dari santri-santri yang melanggar.” ku coba mengorek isi maksut Kyai Ilham.
Kyai Ilham menerangkan panjang lebar semua harapanya ke padaku. Hingga akhirnya aku sadar, begitu mulianya misi yang diletakakan di pundakku saat itu.
***

Jum’at Pagi amat pelik terasa. Tak ada lagi yang menyapa, tak ada lagi yang membalas senyumku. Benar kata Kyai semalam, hanya dengan cara ini misi yang aku emban bisa terselesaikan.
Sinar surya ufuk timur yang menerobos celah-celah dedaunan pohon trembesi belakang ma’had membuat silau mataku. setelah menghindar dari cahaya tajam itu, tak sengaja aku melihat Takim terpaku di tepi sungai. Ku hampiri Takim lantas kutepuk bahunya. “Assalamu’allaikum, ya akhi..” sapaku meramah. “Wa’allaikum salam, kau Jallal yang semalam dipangil kemahkamah bukan. Kenapa kau kemari?” balas Takim sinis. “kebetulan saja aku lewat.” Jawabku beralasan.

Takim tak menggubris, ia masih melamun sambil melepari sungai dengan beberapa kerikil yang dibawanya.
“aku kagum dengan air ini, ia bisa bebas mengalir meski terkadang batu terjal menghadangnya. Berbeda dengan kita yang selalu dibatasi sehingga kita tidak bisa berkreasi dengan bebas” ku coba membuka perbincangan.
“apa maksutmu?”
“kau sebenarnya punya potensi luarbiasa untuk merubah ma’had kita menjadi lebih baik”
“bagaimana caranya?”
“dengan kemampuanmu mengotak-atik, kita bisa memanfaatkan aliran sungai ini menjadi pembangkit listrik tenaga air”
“kau salah menilai bro, benar aku memang suka mengotak-atik tapi kalau urusan teknis aku tidak bisa, memang kau tau bangaimana caranya membuat listrik dari tenaga air?”
“aku memang tidak bisa, tapi aku tau orang yang mumpuni bidang ini. Irsyad, ya santri asrama timur itu. Aku yakin dia bisa, sebab sebelum dia pindah ke ma’had ini. Ketika masih di SMA dia tergolong anak yang pandai. Beberapa olimpiade berhasil ia taklukan dan puluhan penghargaan exact competition diraihnya” ujuarku tanpa terka.

***

Jum’at-an usai beberapa menit lalu. Seiring tingginya mentari bayangan tubuhku memendek. Siang itu aku benrniat ke asrama timur untuk mencari Irsyad. Namun ketika melewati kebun mangga. Aku tertegun mengetahui di salah satu pohon, ternyata berdiri rumah pohon di atasnya.
Penasaran membujukku untuk memanjat pohon mangga itu. Setiba di atas, tak terduga Irsyat menyambut dengan dengkurannya. Ia terbangun menyadari kehadiranku. Tatapan kaget tergambar jelas di rautnya.
“kau santri asrama barat yang semalam itu-kan, ada urusan apa kau kemari?”
“affuan kalau mengganggu. kenalkan aku Jallal, kalau boleh tau, sejak kapan kau bangun rumah pohon ini. Ko’ empat tahun aku disini, baru tahu ada rumah pohon di kebun mangga ini.”
“semua bermula ketika kawan-kawanku memangiku kaslan, sebenarnya aku tidak ingin menjadi orang yang malas, tapi disaat aku inggin adaptasi menjadi santri pada umumnya, semua menganggapku remeh. Hanya karena aku tidak bisa nahwu, shorf, tafsir dan semua pelajaran pondok.” Irsyad mencurahkan gundahnya.

Aku terdiam hanyut terbawa perasaan Irsyad. Kami berdua masih terdiam hingga akar mangga yang tak sengaja ku pandang mengingatkanku akan satu pelajaran.
“syad, kau tau akar itu. akar yang menopang pohon ini.” Aku menunjuk akar yang berada di bawah rumah pohon Irsyad. “Andaikan kita seperti akar. Walau tertimbun tanah, pohon ini sangat membutukan keberadaanya untuk tumbuh dan berdiri tegak.” Aku menatap wajah Irsyad yang ikut menoleh ke bawah.
“apa maksudmu?” Irsyad mengerutkan dahinya.
“andaikan santri yang dianggap buruk seperti kita, bisa berguna untuk ma’had ini.”
“lalu apa untungnya buatku?” Irsyad kembali keposisi tidurnya.
“kau tak akan dipanggil kaslan lagi” jawabku seraya senyum meyakinkan.
***

Seusai tadharus Asyar, ratusan santri berhamburan keluar masjid. Di dada terdekap Al Qur’an, sandal tipis dikenakan. Begitu sudah semestinya santri setiapkali kembali ke maskan.
Sadar dipergunjingkan. Aku hanya menunduk berlagak tak menghiraukan. Tapi semua mendadak berubah ketika “DUWAAK” aku terjatuh dihadapan Afif. “aina ainuka?” sentak Afif. Seketika ia menyeretku ke belakang masjid. Aku dilempar kesudut bangunan masjid yang penuh semak.
“aku sudah tahu semua rencanamu. Semalam aku mendengarkan seluruh perbincanganmu dengan kyai Ilham. Kau anggap, semudah itu?” Afif menarik nafasnya “ok,ok kau sudah bisa mempengaruhi Takim dan Irsyad, tapi jangan harap kau sanggup mempengaruhiku. Menjadi santri yang kau setir, Itu picik” hardik Afif mencampakanku.
Noda tanah memenuhi busana muslimku. Memandang awan berarak di angkasa, aku terlanda pesimis “apakah misi ini bisa ku selesaikan” gumamku pasrah.
***

Sudah seminggu semenjak kejadian itu. Aku benar-benar kehilangan semangat menyelesaikan misi yang diberikan kyai Ilham. Sore itu di lapangan aku duduk sendiri di atas setumbang pohon. Lapangan itu mungkin terlalu kecil untuk dikatakan sebagai wahana sepak bola. Namun nampaknya debu-debu yang mengepul tak mengusik keasyikan santri-santri yang bermain saat itu.
“Jallal, kau tidak ikut?” suara itu terdengar dari Takim, tatkala akan duduk disamping kananku.
“mereka tak mengharapkanku” aku tertunduk sipu.
“kenapa begitu?” terdengar Irsyad datang dari sisi kiri.
“aku sudah kehilangan pamor” masih menatap kosong gumpalan debu di hadapanku.
“jadilah akar meski tanpa pamor dia memiliki peran besar bagi kehidupan” Irsyad merangkul pundakku.
“jangan kau kalah dengan air yang bisa bebas mengalir meski lingkungan membatasinya.” Takim mencengkram pahaku.
Kalimat mereka bagai meringkus, menelikung setiap sel di urat nadi. Aku tak menyangka mereka hadir membangkitkanku. Ku pandang wajah mereka, seolah memberiku ghiroh baru dalam dada.
***

Berawal dari pertemuan itu. Di lorong hutan, dedaunan, tangkai-tangkai, ilalang, percikan air sungai, menjadi saksi perjuangan kami. kami sibuk membuat kincir air untuk pembangkit listrik, agar ma’had tak lagi padam karena telat membayar tagihan. Kami akan menunjukkan pada ma’had bahwa kami ada dan berguna.
Seluruh kemampuan yang kami miliki benar-benar tertuang. Aku mengorbankan seluruh uang sakuku untuk mendukung keberhasilan misi ini. Irsyad dengan kecerdasanya, rela turun gunung untuk mencari tahu tentang kincir air. Mulai dari perpustakaan daerah sampai warnet-pun Irsyad susuri. Takim dengan ketrampilanya sanggup mengubah potongan-potongan kayu yang semula tak berbentuk kini mulai terlihat seperti sketsa yang kami sepakati.

Kami sadar sering keluar jam pelajaran dan kerap kejar-kejaran dengan para ustad ma’had. Namun itu tak sedikitpun kami hiraukan. Di benak kami hanya misi yang ada.
Kupasang senyum puas, terhembus nafas lega Irsyad, terusap keringat di kening Takim. setelah tiga minggu berkerja keras. Tak terasa akhirnya kincir air telah berdiri di hadapan kami. Di saat kebahagiaan terluapkan. Tanpa kami duga tiba-tiba dari balik hutan, nampak santri-santri asrama utara berdatangan, berduyun-duyun menghampiri kami.

Kami panik, kuterka sepertinya mereka para santri senior dan mereka ada dua puluh anak. Sedangkan kami hanya tiga orang. Kami melangkah mundur memegang kincir air yang rencananya hari itu adalah hari pemasangannya.

Belum sempat aku mencegah mereka. Sudah berseru salah seorang di antara mereka “mana yang namanya Jallal?” kami bertiga diam, tak berani berucap sepatah katapun. “kami kemari, dimintai Afif untuk membantumu.” Ucap santri yang sama. “Ini kincir air yang rencananya untuk ma’had itu ya?” tutur yang lain. Kami benar-benar tak menyangka hal ini akan terjadi. Bermunculan tanda tanya di fikiranku “apa benar Afif melakukan ini?”.
Aku, Takim dan Irsyad hanya tertegun membiarkan mereka mengangkat kincir air itu. Mereka meminta intruksi kami dalam pemasngan kincir air itu. Bersama-sama kami keluar hutan menuruni lereng. Dari kejauhan santri-santri keheranan menyaksikan kami. tepat di sungai yang kami bertiga sepakati. Kincir air itu terpasang dengan rapi. Dengan sergap Irsyad mengintruksi kami memfungsikan alat itu.

Listrik ma’had padam, semakin banyak santri yang berdatangan. Terlihat kincir air mulai berputar meski perlahan-lahan. Di sisilain batinku dicekam harapan tinggi.
“Alhamdulillah...” sorak-sorai berbaku lantun menyaksikan alat itu berfungsi.
Kerumunan santri tersibak oleh kedatangan Kyai Ilham. beliau memasang senyum bangga di hadapanku. Seluruh santri mulai sadar setelah kyai Ilham mengklarifikasi semua tuduhan yang ku pikul.
Ketika semua memperhatikan kyai Ilham, pandanganku mendadak tersita oleh kemunculan Afif dari kejauhan. Rautnya masih misterius, namun benakku dapat menerka isyarat tatapannya. Kini aku baru sadar seburuk apapun karakter seseorang ia pasti memiliki potensi kebajikan meski itu sekecil biji sawi.
Empat kopiah, Perlahan mimpi terasa mengganggu, mereka coba untuk terus menjauh. Perlahan hati terbelenggu, mereka coba untuk lanjutkan mimpi.

0 komentar:

Posting Komentar